Allah SWT secara langsung memerintahkan kita untuk berkurban dengan firman-Nya, “Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” (QS : Al-Kautsar ayat 2).
Bahkan, berkurban merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT saat Idul adha.
Dari ‘Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadits Hasan, riwayat at-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117)
Namun terkadang seseorang bukan hanya berkurban untuk dirinya sendiri, tapi juga berkurban untuk orang yang sudah meninggal dan menghadiahkan pahala kurban untuknya.
Lantas bolehkan kita berkurban untuk orang yang sudah meninggal?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita harus melihat dulu kondisi pekurban/mudhohi-nya, sehingga Masalah ini tidak lepas dari tiga keadaan;
Pertama: orang yang sudah meninggal diikutsertakan bersama orang yang masih hidup.
Misalnya ada orang yang berkurban dengan niat untuk dirinya dan keluarganya, dan diantara keluarganya tersebut ada yang sudah meninggal, maka keadaan seperti ini dibolehkan.
Dasarnya adalah hadits riwayat Imam Muslim dari Sayidah Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad ketika menyembelih hewan kurbannya beliau berkata: “Bismillah (Dengan menyebut nama Allah), Ya Allah, terimalah kurban ini, dari Muhammad, keluarga Muhammad dan ummat Muhammad.” (H.R Muslim)
Kedua: Berkurban untuk orang yang sudah meninggal tanpa diikutkan bersama orang yang masih hidup.
Misalnya seorang anak membeli kambing kurban dan niatnya bahwa kurban ini untuk ibunya yang sudah meninggal, maka hal ini hendaknya ditinggalkan oleh seorang muslim, karena Nabi tidak pernah menyendirikan ibadah kurban untuk keluarganya yang sudah meninggal saja, dan hal ini tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat juga.
Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan: “Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr).
Kurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Karenanya, niat orang yang berkurban mutlak diperlukan. Sedangkan orang yang meninggal tidak memiliki kuasa untuk itu.
Ketiga: Berkurban untuk mayit atas dasar wasiatnya sebelum meninggal dunia.
Hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah SWT yang artinya: Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. al-Baqarah: 181).