Pelita di Ujung Senja: Kisah Kasiatun, Menjaga Syukur di Tengah Keterbatasan

oleh Talitha Yumnaa
June 13, 2025

Di sebuah sudut sunyi Desa Sumberglagah, Mojokerto, Jawa Timur, berdiri sebuah rumah sederhana yang menjadi saksi bisu perjalanan seorang perempuan tangguh bernama Kasiatun. Usianya telah menua, 75 tahun, namun semangatnya tetap menyala seperti pelita yang enggan padam meski diterpa angin malam.

Kasiatun hidup seorang diri, tanpa pelukan keluarga, tanpa suara tawa anak cucu. Namun, ia tidak pernah benar-benar sendiri. Setiap pagi, embun menemaninya, dan setiap malam, langit menjadi sahabat setianya. Sejak usia 15 tahun, kusta telah menjadi bayangan yang setia mengikuti langkahnya. Penyakit itu, seperti tikus kecil yang diam-diam menggerogoti tulang kakinya, memaksanya berteman dengan tongkat penyangga. Namun, Kasiatun tidak pernah membiarkan kesedihan menguasai hatinya. Ia memilih bersyukur, menjadikan keterbatasan sebagai ladang pahala dan kekuatan.

Setiap malam, ketika dunia terlelap dalam mimpi, Kasiatun justru bangkit. Ia menapaki malam sunyi, menari bersama waktu dalam balutan ibadah. Salat tahajud 22 rakaat, dari pukul 01.30 hingga 02.30 WIB, menjadi jembatan rahasia antara dirinya dan Sang Pencipta. Dalam keheningan itu, ia berbicara dengan Tuhan, mengadukan segala lelah, dan memintal harapan baru.

“Harus bangun, jangan malas-malas,” bisiknya, seolah menasihati diri sendiri dan siapa pun yang mendengarnya. Ibadah panjang itu adalah bentuk syukur atas usia yang masih diizinkan bernafas. Kepada generasi muda, ia menitipkan pesan: “Isi waktu dengan kebaikan, jangan tinggalkan salat malam. Sebab, salat malam itu adalah kunci pembuka rezeki.”

Pada suatu Jumat yang penuh berkah, pintu rumah Kasiatun diketuk oleh rezeki yang tak disangka. Melalui Program Qurban BRILiaN 1446 Hijriah, ia menerima daging kurban—sebuah kenikmatan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan. Senyum merekah di wajahnya, seperti bunga yang mekar setelah lama menahan rindu pada hujan.

“Terima kasih, saya terima. Dulu nggak pernah dapat daging begini, sekarang dapat. Alhamdulillah, senang sekali,” ucapnya, matanya berbinar penuh syukur.

Di balik kebahagiaan itu, Kasiatun tak lupa menebar doa. Ia panjatkan harapan agar para mudhohi—mereka yang telah berkurban—diberkahi rezeki yang melimpah dan keselamatan di dunia serta akhirat.

Kisah Kasiatun adalah kisah tentang cahaya yang tak pernah padam, tentang hati yang memilih bersyukur di tengah keterbatasan. Ia mengajarkan kita bahwa iman adalah pelita, dan syukur adalah bahan bakarnya. Di tengah badai kehidupan, ia tetap berdiri, menjadi lentera bagi siapa saja yang ingin belajar tentang keteguhan dan harapan.